Politik Demokrasi Ramah Terhadap Napi

Senin 22 April 2024

Oleh : Yohana Pardede

(Aktivis Muslimah)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukam) memberikan Remisi Khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP). Penerima RK dan PMP Khusus pada Lebaran Idul Fitri 2024 berjumlah total 159.557 orang.

Lebih rinci lagi, sebanyak 158.343 narapidana menerima Remisi Khusus. Total 157.366 orang mendapat RK I (pengurangan sebagian) dan 977 orang mendapat RK II (langsung bebas).

Disamping itu, sebanyak 1.214 anak binaan mendapatkan PMP Khusus dengan rincian 1.195 orang mendapat PMP I (pengurangan sebagian) dan 19 orang mendapat PMP II (langsung bebas).

Dari data tersebut, termasuk juga terpidana kasus korupsi E-KTP, SetNov atau Setia Novanto mantan ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI juga mendapatkan diskon tahanan 30 hari atau sebulan sama seperti remisi hari Raya Idul Fitri tahun lalu.

Tidak hanya remisi Idul Fitri, ia juga mendapatkan remisi dalam rangka peringatan HUT ke-78 RI selama tiga bulan. Kabar remisi tentu menggembirakan bagi keluarga dan narapidana itu sendiri. Hanya saja harus dipastikan apakah dengan keluarnya narapidana tersebut tidak menambah aksi kejahatan di lapangan?

Mengingat di momen hari raya yang disinyalir kejahatan makin meningkat. Sekilas pemberian remisi ini terlihat baik.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly mengungkapkan bahwa Remisi dan PMP merupakan wujud nyata dari sikap negara sebagai reward atau hadiah kepada narapidana dan Anak Binaan yang selalu berusaha berbuat baik, memperbaiki diri, dan kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.

Adapun pemberian remisi tersebut menimbulkan kontroversi yang dianggap tidak adil dan sangat dipermudah.

Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tiga jenis kejahatan luar biasa yakni narkoba, korupsi, dan terorisme awalnya diperketat, lantaran diberi syarat tambahan.

Syarat ini tertuang dalam PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Aturan ini dikenal dengan PP aturan ketat remisi koruptor. Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur narapidana terorisme, narkotika, dan korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat jika menjadi justice collaborator atau membantu membongkar kasus yang dilakukan dan membayar lunas denda dan uang pengganti.

Akan tetapi, Mahkamah Agung (MA) justru mencabut syarat ketat remisi yang tertuang pada pasal-pasal di PP 99 Tahun 2012 tersebut.

MA mencabut beleid itu melalui putusan perkara Nomor 28 P/HUM/2021, yang diresmikan pada 28 Oktober 2021. Alhasil, PP 99 Tahun 2012 pun dibatalkan, semua terpidana kasus kejahatan berat berhak mendapatkan remisi dan tak perlu lagi syarat tambahan.

Misal, kejahatan korupsi harus menjadi justice collaborator, membayar denda dan mengembalikan kerugian negara. Artinya, tidak ada bedanya antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana lain.

Padahal tingkat keseriusan tindak pidana korupsi itu jauh berbeda, mengingat kerusakan yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi sangat luas, hingga korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary Crime).

Sejatinya, hukum yang diterapkan di negeri ini belum efektif mengatasi kasus kejahatan. Dengan memberikan remisi justru menjadikan terpidana semakin menganggap enteng hukuman. Akibatnya, ketiadaan efek jerah membuat kasus serupa kian bertambah, bahkan semakin parah.

Sering kita temukan bentuk kejahatan makin beragam, sadis, brutal dan mengerikan. Hilangnya rasa takut pada diri pelaku sehingga mereka berani melakukan kejahatan yang lebih besar.

Salah satu contoh, kasus korupsi di PT Timah TINS yang terbongkar beberapa waktu lalu. Kasus korupsi kelas kakap tersebut merugikan negara hingga 271 triliun sempat menghebohkan masyarakat.

Pasalnya, nominal tersebut mengalahkan kasus-kasus korupsi kelas kakap sebelumnya. Inilah dampak dari kerusakan sistem yang diterapkan saat ini. Jika dicermati, berbagai sistem sanksi saat ini menunjukkan ketidakseriusan dalam memberi efek jera pada pelaku kejahatan.

Pasalnya, sistem sanksi ini bertumpu pada nilai-nilai sekuler liberal yang melahirkan sistem pidana sekuler. Sistem tersebut menjauhkan aturan agama dari kehidupan dan bernegara. Sistem pidana sekuler juga jauh dari unsur ketakwaan didalamnya, karena tidak bersumber dari tuntunan syariat.

Alhasil, aturan yang berasal dari manusia tersebut berpotensi mudah untuk direvisi, bahkan berganti, karena tidak ada ketetapan yang baku didalamnya. Maka tak heran, sistem pidana sekuler saat ini tidak memberikan keadilan sedikitpun bagi masyarakat.

Selain itu, sistem pidana sekuler berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang kuat, yakni penguasa atau orang yang memiliki banyak uang. Tidak sedikit narapidana bisa menikmati kemewahan di dalam Lapas, dipotong masa tahanan, bisa traveling, bahkan bisa membeli kebebasan.

Lantas, bagaimana mengharapkan terwujudnya keadilan dan keamanan dengan sistem yang diterapkan saat ini? Padahal, Allah Swt mengharuskan pelaku kejahatan agar diberikan hukuman yang setimpal.

Allah SWT berfirman yang artinya, "Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi),” (QS Al-An’am: 160).

Pandangan Islam

Islam adalah agama yang sempurna, bukan hanya mengatur ibadah mahda, Islam memiliki mekanisme sanksi yang tegas untuk mencegah tindak kejahatan. Keunggulan sistem sanksi di dalam Islam ialah sistem sanksi berasal dari Allah SWT, zat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna, termasuk gerak gerik hati dan kecendrungan manusia.

Sistem sanksi di dalam Islam akan mampu memberikan efek jera dan meniscayakan adanya keadilan. Adapun berbagai jenis sanksinya berupa Hudud, Jinayah, Ta'zir, maupun Mukhalafat. Allah Swt. telah berfirman yang artinya, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS, al-Maidah:50).

Penerapan sistem Islam adalah kunci dalam melindungi masyarakat. Sanksi tegas di dalam Islam merupakan bukti upaya serius untuk memberantas tindak kejahatan kecil maupun besar.

Jika hukuman berupa penjara, maka tidak ada pengurangan masa tahanan dari masa yang sudah hakim putuskan sejak awal. Adapun hikmah dari sanksi yang tegas tersebut berfungsi sebagai Jawabir (penghapus dosa di akhirat) dan Zawajir ( memberikan efek jera juga sebagai pencegah agar tidak ada tindak kejahatan yang serupa).

Misalnya, menyaksikan hukuman qisas bagi pelaku pembunuhan akan membuat anggota masyarakat takut untuk membunuh, sehingga nyawa manusia ditengah masyarakat akan terjamin dengan baik.

Adapun Jawabir berfungsi mengugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Dalam bai'at aqobah ke 2, Rassulullah SAW menerangkan bahwa siapa yang melakukan kejahatan seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu. Maka, sanksi akan menjadi kafarat atau penggugur dosa nya (HR. Bukhari).

Jadi, sistem hukum didalam Islam berdimensi dunia dan akhirat. Maka, saatnya umat tersadar betapa pentingnya sistem Islam untuk diterapkan dalam kehidupan dan bernegara.

Karena, landasan hukum yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunah, menjadikan hukum bersifat baku, tidak dapat di ubah-ubah. Bukan seperti sumber hukum buatan manusia seperti saat ini yang dapat direvisi kapanpun sesuai hawa nafsu manusia dan hanya berdimensi pada dunia.

Allah Ta'ala berfirman, "Telah sempurna kalimat Tuhan mu, sebagai kalimat yang benar dan adil, dan tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimatNya. Dan dialah yang maha mendengar lagi maha mengetahui," (QS, al-An'am: 115).

Sebagai wujud ketakwaan kaum muslimin kepada Allah Swt, kaum muslimin harus segera kembali pada aturan Islam. Ketika sistem Islam diterapkan, maka akan banyak mendatangkan kebaikan. Umat manusia akan hidup aman dan teratur.

Dengan adanya hukum yang tegas, individu yang bertakwa, dakwah di tengah masyarakat, maka tindak kejahatan akan sulit ditemukan. (*)